Oleh: DIAN FARIZKA, SH.,MH.,CPL.,CPCLE.,ACIArb
Kamis, 18 Juni 2020 massa tergabung Aliansi Pemuda dan Masyarakat Kepton Barakati berunjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Buton Selatan dengan pernyataan sikap yaitu untuk meminta H. La Ode Arusani di hukum sesuai peraturan yang berlaku karena diduga memalsukan dokumen negara (ijazah) dan H. La Ode Arusani tidak layak menjadi pejabat.
Pewakilan massa dari Aliansi Pemuda dan Masyarakat Kepton Barakati diterima oleh perwakilan salah satu Anggota DPRD Kabupaten Buton Selatan, La Hijira dari Fraksi Golkar di ruang rapat, tetapi massa masih kurang puas dan kecewa sehingga terjadi penyanderaan dan akan mengancam akan datang kembali membawa massa yang lebih banyak.
Kemudian Selasa, 23 Juni 2020 massa tergabung Alinsi Pemuda dan Masyarakat Kepton Barakati kembali berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Kabupaten Buton Selatan dan pada akhirnya massa diterima oleh 15 Anggota DPRD Kabupaten Buton Selatan. Massa menuntut pembentukan Pansus Hak Angket tentang Ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP) atas nama La Ode Arusani sebagai Bupati Buton Selatan yang di keluarkan oleh SMPN Banti Tembagapura pada tahun 2005.
Dalam rapat tersebut perwakilan dari massa menyerahkan bukti yaitu 1) Fotocopy Ijazah yang telah dilegalisir basah; 2) Surat Keterangan Kepala Sekolah SMP Banti No. 421.2/005/SMP-NB/II/2017, tanggal 20 Februari 2017 dalam keterangannya Pelaksanaan Ujian Sekolah dan Ujian Nasional Pertama kali di SMPN Banti dilaksanakan pada tahun 2006 dan atas nama La Ode Arusani tidak pernah terdaftar sebagai siswa SMPN Banti;
3) Surat Keterangan Guru Bidang Studi SMP Banti No. 422.2/006/SMP-NB/X/2018, tanggal 30 Oktober 2018 dalam keterangannya Ijazah dan Fotocopy Ijazah SMPN Banti Tahun Pelajaran 2004/2005 No. 23 DI 2394135 atas nama La Ode ARusani tertanggal 30 Juni 2005 tersebut tidak dapat dinyatakan keabsahannya dan/atau saya nyatakan Ijazah tersebut tidak dapat dijadikan sebagai Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) di SMPN Banti;
4) Surat dari Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah Pemerintah Provinsi Papua ditujukan kepada Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Papua No. 423.7/177.PPAD/II/2020, tanggal 17 Februai 2020, perihal Data UN Tahun 2005, yang melaksanakan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2004/2005 Kabupaten Mimika adalah sebanyak 15 SMP/Mts terkecuali SMP Banti;
5) Surat dari Ombudsman Perwakilan Papua ditujukan kepada Ketua Ombudsman RI No. 0152/SRT/0102.2018/Jpr-04/2019, tanggal 4 Oktober 2019, perihal Permintaan Pendampingan oleh Keasistenan Substansi VII (Humaniaora);
6) Surat dari Ombudsman Perwakilan Papua ditujukan kepada Sdr. Zeth Sonny Awom No. 0091/SRT/0102.2018/Jpr-04/IV/2020, tanggal 28 April 2020, perihal Pemberitahuan Perkembangan Penyelesaian melalui LAHP.
Kode Ijazah La Ode Arusani dianggap janggal karena kode di dalam Ijazah tersebut adalah 23 padahal untuk kode wilayah Papua adalah 25 bukan 23. Untuk kode 23 adalah wilayah Nusa Tenggara Barat bukan Papua. Tidak hanya itu, yang lebih aneh lagi membuat massa geram yaitu La Ode Arusani dilahirkan pada 8 Maret 1975 dan Ijazah SMPN Banti dikeluarkan pada tahun 2005 berarti La Ode Arusani sudah berumur 30 tahun.
Kalau berumur 30 (tiga puluh) tahun sangat bertentangan dengan Pasal 71 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, menyatakan “SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat wajib menerima warga negara berusia 13 (tiga Belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun sebagai peserta didik sampai dengan batas daya tampungnya” dan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf c, Peraturan Bersama Antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor 04/VI/PB/2011, Nomor MA/111/2011 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak /Raudhatul Athfal/Bustanul Athfal dan Sekolah/Madrasah, menyatakan “Persyaratan calon peserta didik baru kelas 7 (tujuh) SMP/MTs: a. telah lulus dan memiiki Ijazah SD/MI/SDLB/Program Paket A; dan c “berusia paling tinggi 18 (delapan belas) tahun pada awal tahun pelajaran”.
Apabila La Ode Arusani terbukti menggunakan Ijazah SMPN Banti terbukti palsu maka dipidana dengan pidana paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Senjata Hukum Angket
Sebelum lebih jauh tentang “angket” harus memahami makna angket itu sendiri. Angket berasal dari bahasa Perancis, yaitu “anquette” yang memang diterjemahkan dengan “penyelidikan”. Hanya saja, pengertian hak penyelidikan DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dipahami secara bercampur-aduk dengan hak penyelidikan dalam rangka penegakan hukum (Belanda: opsporing), sehingga kerapkali terjadi ketidaktepatan pelaksanaan hak angket itu.
Hak angket merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Hak ini melekat atau dilekatkan pada fungsi atau jabatan DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Karena itu, hak angket diletakkan sebagai hak institusi atau hak kelembagaan. Hak kelembagaan lainnya adalah hak interpelasi, hak menyatakan pendapat, hak budget, hak konfirmasi, dan hak sub phoena. Dengan demikian, hak angket adalah perangkat untuk merealisasikan fungsi DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pemahaman yang menjadi arus utama (mainstream) memandang hak angket sekadar alat untuk menjalankan fungsi pengawasan (kontrol) terhadap pemerintah. Bahkan, menelisik implementasinya, terkesan hak ini menyerupai hak penyelidikan dalam konteks proses pro justitia. Kesan yang demikian itu muncul disebabkan penerjemahan hak angket sebagai hak penyelidikan.
Berbicara tentang hak angket sesungguhnya dijamin oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai, hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat,”.
Sebagai turunan dari konstitusi adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3) terutama Pasal 371 ayat (1) huruf b, yaitu “DPRD Kabupaten/Kota berhak : b. angket”; dan dipertegas dalam ayat (3), yaitu “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) terutama Pasal 159 ayat (1) huruf b, yaitu “DPRD Kabupaten/Kota berhak : b. angket”; dan dipertegas dalam ayat (3), yaitu “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, Daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sebagai dasar untuk pembentukan pansus hak angket dugaan Ijazah palsu yang dikeluarkan oleh SMPN Banti atas nama La Ode Arusani sebagai Bupati Buton Selatan diangap menciderai nilai-nilai demokrasi dan pembohongan publik sehingga bertentangan dengan Pasal 78 ayat (2) huruf h UU Pemda, yaitu “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c karena menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah berdasarkan pembuktian dari lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen”.
Atas dasar itulah DPRD Kabupaten Buton Selatan mempunyai kewenangan dan tugas mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 366 ayat (1) huruf d UU MD3 dan Pasal 154 ayat (1) huruf e UU Pemda.
Dalam konteks sekarang yang sedang hangat dalam perbincangan di kalangan masyarakat Buton Selatan tentang sah atau tidaknya Pansus Hak Angket oleh DPRD Kabupaten Buton Selatan tentang dugaan Ijazah SMPN Banti milik La Ode Arusani selaku Bupati Buton Selatan?
Untuk pembentukan Pansus Hak Angket antara Subyek dan Obyek harus ditemukan, siapa Subyeknya? Subyeknya adalah La Ode Arusani selaku Bupati Buton Selatan, dan apa obyeknya? Obyeknya adalah dugaan Ijazah Palsu yang dikeluarkan oleh SMPN Banti untuk digunakan persyaratan sebagai Bupati dan Wakil Bupati Buton Selatan dan itupun sejalan dengan Pasal 82 ayat (1) UU Pemda.
Sebagai dasar pembentukan hak angket agar tidak terjadi cacat hukum, DPRD Kabupaten Buton Selatan harus memperhatikan norma-norma hukum yaitu Pasal 381 dan Pasal 382 UU MD3 sebagai ujung tombak dalam pembentukan hak angket. Kalau Pasal 381 dan Pasal 382 UU MD3 terpenuhi, maka DPRD Kabupaten Buton Selatan berarti sudah sah dan tidak cacat hukum.
Kalau dilihat dari jumlah kursi di DPRD Kabupaten Buton Selatan berjumlah 20 kursi/anggota dewan, pada saat rapat sidang paripurna dihadiri oleh 15 orang anggota dewan yakni Wakil Ketua I Aliadi, Wakil Ketua II Pomili Womal, La Hijira, La Nihu, La Saali, Wa Kodu, La Ode Amal, La Ishaka, Muh. Alamin, La Ode Ashadin, Lismayarti, Karlina, La Opo, Arlin dan Muhadi (sumber Kendari Pos, Rabu 24 Juni 2020) artinya sudah sah memenuhi Pasal 381 UU MD3 dan Pasal 169 UU Pemda.
Dalam melakukan penyelidikan, pansus hak angket mempunyai kewenangan yaitu dapat memanggil para pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan dan untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
Pansus hak angket juga mempunyai tenggat waktu yang dibatasi paling lama dengan 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket untuk melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD Kabupaten Selatan.
Setelah anggota pansus hak angket melakukan penyelidikan wajib melaporkan hasil pelaksanaannya ke dalam rapat paripurna. Pansus hak angket dapat merekomendasikan dalam jalur politik untuk pemakzulan Bupati Buton Selatan sebagaimana diatur dalam Pasal 366 ayat (1) huruf d UU MD3 dan Pasal 82 ayat (2) UU Pemda dan dapat diteruskan ke jalur hukum kepada instansi penegak hukum untuk dilakukan secara pro justitia.
Untuk temuan-temuan pelanggaran hukum, misalnya tentang dugaan tindak pidana pemalsuan surat atau dokumen dapat diteruskan pada instansi penegak hukum. Dalam temuan-temuan pansus hak angket secara hukum tidak dapat dijadikan bukti telah terjadi suatu tindak pidana, walaupun secara materiil mungkin mengandung kebenaran. Penyelidikan (opsporing) dan penyidikan (nasporing) untuk secara hukum membuktikan telah terjadi suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh pejabat penyidik (KPK, Polisi, Jaksa, atau PPNS). Walaupun demikian, temuan-temuan pansus hak angket sangatlah penting sebagai bahan untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan pro justitia.
Perlu diingat bahwa sebagai keutamaan yang paling sakral untuk pemkazulan adalah dalam pengambilan keputusan dalam rapat paripurna untuk pemberhentian sebagai Bupati Buton Selatan adalah Pasal 395 ayat (1), ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU MD3 dan Pasal 183 ayat (1), ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Pemda.
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana Jakarta