Kamalinews.id – Kritikan terhadap Ketua DPRD Buton Selatan (Busel), La Ode Armada terus bergulir. La Ode Armada diketahui membatalkan Pansus Hak Angket hanya melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dihadiri oleh enam orang anggota DPRD Busel.
Padahal, Pansus Hak Angket atas dugaan ijazah palsu milik Bupati Busel, La Ode Arusani itu baru sepekan terbentuk melalui rapat paripurna DPRD Busel yang berjalan sudah sesuai dengan Tata Tertib (Tatib) Dewan.
Kritikan terhadap Ketua DPRD Busel itu datang dari Pengamat Politik Kepulauan Buton, La Ode Muhammad Yunus. Ia menjelaskan, lembaga DPRD bukanlah seperti lembata peradilan yang menyidangkan suatu perkara atas dasar alat bukti baru atau novum. Tapi, DPRD itu merupakan lembaga yang diberi kewenangan pengawasan atas kinerja eksekutif.
“Termasuk menindaklanjuti segala isu sosial yang strategis di wilayah kerjanya yang dampaknya bersifat meluas. Makanya DPRD itu diberikan Hak Interpelasi, Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat,” jelas Yunus, Rabu, 1 Juli 2020.
Nah, untuk menindaklanjuti isu strategis tersebut, maka dibuatlah Panitia Khusus (Pansus) yang dalam prosesnya mewakili unsur Fraksi di DPRD. Hasil kerja Pansus ini kemudian dilaporkan kepada Pimpinan DPRD untuk selanjutnya dibawa ke forum paripurna.
“Apakah nantinya diputuskan isu yang menjadi objek angket itu diterima atau ditolak untuk diteruskan ke proses selanjutnya. Entah apakah nanti hasilnya pemakzulan atau apapun itu yang dikehendaki putusannya bersifat mengikat bagi seluruh pihak terkait,” tegasnya.
Mengenai pembentukan Pansus Hak Angket itu sah atau tidak, bisa dibuktikan dari proses pembentukannya. Sepanjang tahapan dan tata cara persidangan terpenuhi, maka tidak ada alasan untuk membatalkan Pansus tersebut.
Dalam pengusulan Hak Angket, kata Yunus cukup di usulkan oleh 7 orang anggota dan lebih dari 1 fraksi kepada pimpinan untuk selanjutnya diagendakan melalui Badan Musyawarah (Bamus). Setelah disepakati, baru dibawa ke Rapat Paripurna Pembentukan Pansus Angket yang dihadiri oleh sekurangya 3/4 anggota.
Jika dalam Paripurna tidak dihadiri oleh Ketua DPRD maka prosesnya bisa diwakili oleh Wakil Ketua DPRD. Hanya saja, dalam Tatib menyebutkan ketua maka penafsirannya ketua. Tapi, tidak ada alasan ketua menyandera agenda paripurna dengan alasan tidak berada di tempat.
Kalau saja ketua berhalangan tetap, maka pimpinan sidang bisa diambil alih oleh pimpinan yang lain, dalam hal ini dua orang wakil ketua. Sedangkan, kalau ketua berhalangan sementara, maka sidang dapat ditunda 2×1 jam.
“Namun, jika sampai penundaan itu ketua belum hadir, wakil-wakil bisa mengambil alih jalannya rapat bersama anggota untuk bersidang dan menunjuk salah satu dari mereka untuk memimpin rapat (paripurna). Intinya tidak ada kata deatlock,” tegasnya.
Mengenai adanya pro kontra SP3 yang dikeluarkan oleh Polda Sultra, lanjut Yunus hal tersebut tidak ada kaitannya dengan pembentukan Pansus. Ia menegaskan bahwa DPRD itu merupakan lembaga politik. Putusan SP3 itu bukan merupakan putusan pengadilan yang bersifat inkrah.
“Putusan Kasasi saja bisa di PK, tapi apapun itu adalah ranah Peradilan. DPRD hanya menjalankan fungsi pengawasannya. Pansus sudah bisa langsung bekerja kalau sudah disetujui. Kalau terjadi benturan kewenangan, biarlah MA yang putuskan,” terangnya.
Olehnya itu, jika Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar oleh Ketua DPRD Busel dan dihadiri oleh enam orang anggota untuk membatalkan Pansus Hak Angket, menurut Yunus yang dilakukan oleh Ketua DPRD Busel itu mencerminkan ketidakpahaman terhadap Tatib Dewan, hanya saja belum dikategorikan sebagai pelanggaran etika.
“Hanya saja terlihat konyol. Coba bayangkan RDP umum yang dihadiri oleh enam anggota bisa membatalkan Rapat Alat Kelengkapan Dewan. Kalau rapat yang dipimpin oleh Pak Aliadin itu ter agenda sebagai rapat gabungan fraksi atau komisi dalam hal menerima aspirasi pendemo terkait isu ijazah palsu,” tutupnya.